SEBUAH PUSAKA UNTUKMU ANAKKU
Telah tiba hari, dimana timbul pertanyaan. Apa? Dan Mengapa? Apa yang membuatku bertahan? Dan mengapa harus dilakukan? Pada syair, pada cerita, pada hikayat ini. Akankah semua yang kulakukan ini hanya akan menguap ke langit? Sebuah bekas tersia-sia, tanpa (pernah) memberi arti. Dan ketika, aku tak mampu memahami lagi, sekuat apapun menggali jawaban pertanyaan ini. Selalu ada hal mustahil yang membuat (kita) memilih berbuat.
Adalah engkau, anakku alasan itu. Ada yang terindukan ketika aku menyebut namamu. Disitu pula ada gentar yang getar. Apakah ini mendahului takdir-Nya, dan keyakinanku bahwa IA maha pengasih lagi maha penyayang, membuatku berazzam melanjutkan menulis untukmu bersama pasrah sekaligus gairah.
(Memang) anakku, tulisan ini didasarkan rindu menggebu, tak hanya padamu. Tapi juga pada ayahku tercinta. Bahwa dilubuk hatiku yang terdalam ini, entah sadar ataupun tidak, ketika menangis seorang diri betapa aku ingin bertemu dengannya, walau didalam mimpi. Sebuah catatan dari ia (pun) tak aku miliki, tulisan adalah sejarah. Ia mempertautkan mereka yang mati dengan mereka yang hidup. Kehilangan ini, sendu ini tak ingin aku, jika engkau harus merasakan hal yang sama. Meski hidup tak cuma suara kata-kata dalam bahasa, di setiap saat, yang diam, yang bisu, selalu bermakna. Namun aku meyakini dengan segala jerih payah, aksara (mampu) menjadi sumber kekuatan tersendiri. Sebagai pengobat rindu, pengganti hadir.
Dicatatan ini anakku, jika engkau mengikuti (kelak) runut seksama. Ada ketegangan antara amarah dan cita-cita, kemungkinan dan komedi, ketergusuran, (meski) baik dan buruk, nostagia sekaligus sulitnya harapan. Segenap tulisan tereksripsi ini demi kamu, walau aku harus lelah dan letih, karena aku pasti (akan) mati. Bahkan ketika (nanti) aku mati, aku ingin menemani dihidupmu. Segenap tulisan ini adalah pusakamu.
Anakku, ketika aku berkata padamu ini adalah pusaka. Bukan berarti ia merupakan hal yang suci. Aku yang (mungkin) kelak menjadi ayahmu, bukanlah cetakan murni seorang Adam di muka bumi, diciptakan langsung oleh tangan-Nya. Dari ketiadaan tanpa sejarah. Aku (saat ini) tak lebih, tak lebih dari sekumpulan daging yang bisa bersedih, bisa tertawa. Kadang berbuat kesalahan, hanya mampu berusaha untuk tidak melakukannya lagi, tanpa tahu bagaimana hasilnya.
Duhai anakku, ketahuilah, bahwa sesungguhnya engkau adalah harapan, harapan yang membuatku memutuskan untuk berjuang disini, dijalan ini. Selama aku mampu, akan terus menuliskan terus pusaka untukmu. Kamu, yang kurindukan perjumpaanku denganmu.
XXXXXXXXX
Pingback: MAKNA PUISI YANG HILANG | Tengkuputeh
Pingback: KEGUNCANGAN FILOSOFIS | Tengkuputeh
Pingback: MAKNA PUISI YANG HILANG - TengkuputehTengkuputeh
Pingback: KEGUNCANGAN FILOSOFIS | TengkuputehTengkuputeh