
Di sepanjang jalan yang coba dititi ini mungkin ada isyarat-isyarat tertentu, untuk direnungkan, memperhatikan betul-betul setiap tanda dan simbol yang ditemukan.
MENITI JALAN YANG LURUS
Kamis, 8 Februari 2007. Sepuluh tahun lalu, ketika Abu masih bertugas di Lhokseumawe. Abu membeli sebuah kitab, “Kisah Para Nabi” yang ditulis Ibnu Katsir. Abu sudah melupakan detil bagaimana ketika membeli buku tersebut. Tanggal yang tertera adalah catatan Abu pada halaman pertama buku tersebut yang waktu itu Abu beli tercatat seharga Rp. 90.000,- entah sekarang berapa harga buku tersebut.
Dari sepuluh tahun lalu itu, Abu belum menamatkan buku tersebut, tanda baca Abu terhenti di halaman 359 dari 724, kisah Nabi Musa A.S. Ya, seorang Abu yang waktu itu berumur 23 tahun, memutuskan menunda membaca kitab tersebut lebih lanjut, mungkin karena pernah membaca buku tersebut secara utuh di sekitar tahun 2002, sebelum di drop out dari Universitas Syiah Kuala dengan meminjam di Perpustakaan Wilayah Kota Banda Aceh. Karena Abu tahu, kitab tersebut sangat bagus makanya Abu membelinya 5 tahun kemudian. Ibnu Katsir sendiri adalah seorang ahli tafsir, sejarawan sekaligus seorang faqih yang hidup di abad ke delapan Hijriah (700-774 H).
Waktu adalah perjalanan, ketika Abu kembali memegang kitab ini. Betapa perjalanan itu sudah panjang dari pertama kali membacanya. 18 tahun (2002), 23 tahun (2007) dan 33 tahun (2017). Pernahkah kita menghitung rentang waktu yang telah dijalani di tahun-tahun belakang?
Perjalanan yang bercita-cita dalam siradjtul mustaqim (jalan yang lurus) mungkin mudah, tapi juga mungkin tak akan pernah berhasil, tanpa terlebih dahulu menghadapi berbagai macam rintangan. Menempuh lembah-lembah yang curam, meninggalkan atau ditinggalkan para sahabat dan keluarga, kemudian di sepanjang perjalanan bertemu dengan orang yang tak dikenal, dihantui ketakutan dan kekhawatiran.
Belajar dari Kisah Para Nabi, manusia menjadi lebih baik setelah menjalani perjuangan di antara hal-hal yang saling bertengangan. Setiap kejadian dalam hidup, menyebabkan perubahan. Tentu Abu bukan seorang Nabi, sebagai seorang manusia biasa Abu merupakan kombinasi dari sebuah lingkungan, yang berbeda-beda setiap manusianya. Masing-masing memiliki hubungan keterikatan. Maka luruskah jalan Abu? Di jalan yang sesuai dengan ajaran Nabi Muhammad S.A.W. Tentu yang berhak menilai adalah Ia yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
Di sepanjang jalan yang coba dititi ini mungkin ada isyarat-isyarat tertentu, untuk direnungkan, memperhatikan betul-betul setiap tanda dan simbol yang ditemukan. Manusia lemah seperti Abu kerap tergelincir, kerap berbuat salah dan mungkin salah arah. Semoga Allah S.W.T adalah pelindung kita, Dia-lah sebaik-baik wakil.
Malam semakin larut, dan Abu terus membaca. Ketika membaca kisah Nabi Zakaria A.S, Abu tertegun. Dan ingatlah kisah Zakaria, ketika ia berseru kepada Tuhannya, “Ya Tuhanku, janganlah Engkau membiarkan aku hidup seorang diri. Dan Engkaulah waris yang paling baik.”
Doa tersebut semacam rasa ketidakberdayaan di hadapan masa depan, juga semacam kesunyian. Tak berdaya dan sunyi, di bumi yang fana, manusia membutuhkan batasnya sendiri. Sebuah keyakinan berapi-api kepada diri sendiri kerap membekukan hati, sebuah kebrutalan yang anggun, sebuah penampilan harga diri yang menakutkan.
Mungkin karena inilah kita dianjurkan membaca kisah para Nabi, agar bertambah rasa syukur dan tafakur.
Maka segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam, selawat serta salam semoga dilimpahkan kepada penutup para nabi, Muhammad S.A.W, keluarga dan sahabat-sahabatnya.
Pingback: KEGUNCANGAN FILOSOFIS | Tengkuputeh
Pingback: SEGALA SESUATU MEMILIKI ASAL MULA | Tengkuputeh
Pingback: APA ARTI MASA DEPAN | Tengkuputeh