SELAMAT JALAN GURU
Selamat jalan guru, Beliau dilahirkan dengan nama Syamsuddin, disaat beranjak dewasa beliau biasa dipanggil dengan julukan Tengku Syams, entah karena merupakan singkatan dari nama beliau atau berdasarkan negeri leluhur beliau.
Konon leluhur beliau berasal dari negeri Syams tepatnya kota Damaskus yang mempesona, keluarga beliau mengabdi kepada Daulah Ummayyah. Ketika Bani Abbas mengambil alih tampuk kekhalifahan, dan memburu sisa-sisa rezim lama, mereka pun melarikan diri,
Berbeda dengan Abdurrahman sang penerus Daulah Umayyah yang terakhir yang nantinya mendirikan kembali dinasti ini Andalusia dan para pendukung setianya yang melarikan diri ke arah Barat tepatnya menuju negeri Maghribi, leluhur Tengku Syam memutuskan berlayar kearah Timur.
Hingga akhirnya leluhur beliau menginjakkan kaki di Nusantara, di pesisir utara Pulau Sumatera. Sebagai keturunan Arab, tak pelak mereka meninggalkan tradisi keluarga yang sebelumnya merupakan bangsawan menjadi ulama.
Masih teringat, ketika pertama kali Abu di antar untuk belajar mengaji kepada beliau belasan tahun yang lalu. Bersama ketan kuning dan seikat sapu lidi, yang melambangkan bahwa orang tua telah melepaskan tanggung jawab kepada beliau untuk dididik dan kalau membangkang diberi hak untuk dicambuk dengan sapu lidi tersebut.
Masih teringat, ketika Tengku tetap mempertahankan metode klasikal walau desakan menggunakan Iqra sudah dihembuskan oleh para orang tua santri. Kata beliau “sejak zaman dahulu kita menggunakan ini (Al- Qur’an kecil) dan akan berganti sampai kapanpun!” Kekeraskepalaan yang menurun ke Abu.
Masih teringat, ketika Abu “gagu” membaca Kitab Masahillah dan Hidayah yang bertuliskan Arab-Melayu (bahkan sampai sekarang!). Beliau hanya tertawa dan mengatakan bahwa cara membaca Abu seperti “Cina Muallaf” dan terkadang beliau berkata bacaan Abu seperti “Kambing berjalan diatas batu”
Saat mendengar kepergian beliau menghadap sang Khalik, Abu hanya mampu mengucapkan Innalillahi wa Innaillaihi Rajiun. Menyadarkan Abu bahwa tak ada yang abadi, dan waktu Abu juga akan tiba nantinya.
Tengku Syams, beliau tidak dijemput oleh peluru ketika butir-butir itu tidak memiliki mata yang siap menerjang siapa saja disaat awan gelap mengelanyut diatas negeri kita.
Tengku Syams, beliau tidak dijemput oleh gelombang besar yang meratakan hampir segenap negeri kita dan menjemput banyak teman dan saudara kita.
Tengku Syams, beliau dijemput oleh sesuatu yang membuat VOC merasa bosan terhadap cengkeh di Maluku dan memalingkan mata serakahnya ke Mataram dan membangun kultur Industri Kolonialisme baru. Benar beliau ditaklukkan oleh Gula! Yang selalu menemani kegemarannya minum kopi.
Satu hal yang Abu ingat dari beliau adalah “Apapun jalan yang engkau ambil, jangan pernah menyesalinya karena waktu tak berulang.” Sebuah ironi yang mengingatkan akan kisah leluhur beliau yang bersedih meninggalkan Damaskus menuju ke Timur.
Guru maafkan muridmu yang tak berkunjung ke rumahmu lebaran kemarin. Padahal biasanya sepulang Shalat Ied biasanya Abu pasti bersilaturrahmi ke rumahmu dulu. Maafkan muridmu yang telah kau limpahi segala hikmah dan pengetahuan namun menganggap engkau tak terkalahkan oleh waktu. Padahal engkaulah yang dahulu mengajarkan bahwa setiap makhluk fana akan takluk atas sesuatu yang dimana Allah S.W.T bersumpah atasnya.
izinkan muridmu mengutip sebait puisi yang dulunya pernah Abu tulis untuk mengenang kepergian seseorang.
Ketika nanti tiba suatu hari dimana engkau meninggalkan dunia ini untuk selama-lamanya. Banyak orang yang mengantarkan jenazahmu, bersedih untukmu dan merasa sangat kehilangan atas dirimu maka sesungguhnya engkau telah berhasil sebagai manusia di dunia dan selesailah tugas-tugasmu di dunia ini.
Ya Allah, ampunilah segala dosanya, tutupi segala aibnya, terimalah segala amalannya dan lipatgandakan pahala untuknya. Amin.
Dan sungguh walaupun saat ini Abu merasa kehilangan, merasa sedih namun muridmu ini ikhlas. Semoga Allah S.W.T menerima engkau ditempat yang layak.
Baca juga: KISAH KISAH PETUALANGAN SI ABU
Masya Allah dan subhanallah dan Innalillahi wa Innaillaihi Rajiun
mas anda adalah kesayangannya juga yang harus merela semua
dan ikut bersedih mas
salam kangen dan mudahan sehat dan ridlo Allah senantiasa terlimpah ke anda
Terima kasih Mas gunung Kelir…
Tengku Syams, beliau sudah memiliki jasa besar dalam perkembangan Islam di negeri ini, selamat jalan, Tengku Syams, semoga diberikan kelapangan jalan menuju ke haribaan-Nya. sebagai sang murid, semoga mas tengkuputeh dapat melanjutkan perjuangan beliau, amiin.
Lalu, mengingat kalimat guru saya (almarhum, amin!): “kau bukan santriku yg terpandai, maka maukah kau menjadi yang paling murah hati membagi sekecil apapun ilmumu?”
(kalimat aslinya dalam bahasa jawa kromo alus, pertanda guru menganggap muridnya setara dg nya bahkan lebih tinggi meski jauh perbedaan umurnya)
Bangpay dan bang sawali, setiap orang memiliki kenangan tersendiri terhadap gurunya. mudah2an ilmu2 dari beliau2 bisa diteruskan ke generasi baru nantinya…
Maaf, Bang. Semoga beliau diterima di sisi-Nya dgn se-baik2nya.
Saya lalu malah tertarik gambaran Abang ttg GULA:
Sesuatu yang membuat VOC merasa bosan terhadap cengkeh di Maluku dan memalingkan mata serakahnya ke Mataram dan membangun kultur Industri Kolonialisme baru.
Mohon bila ada referensi dapat dibagi. Ini topik GULA cukup menarik. (*tentu bukan diabetes*)
Kelak dikemudian hari saya menulis tentang gula. Ini linknya Kang Nur apabila berkenan mengunjunginya https://tengkuputeh.com/2017/05/04/gula-dan-sejarah-penindasan/
@Kangnur
Referensi saya adalah Perpustakaan Almarhum Bapak saya, yang sedang sudah hancur. Kalau tidak salah majalah SIGMA terbitan tahun 1987. Judulnya “Kultur gula dimulai dari Pulau Jawa” menceritakan sejarah gula, dan industrialisasinya yang pertama kali di Pulau Jawa oleh VOC. Sayang perpustakaan Bapak saya, kakek saya itu sudah hancur. Diremah dan sisa itu semua saya mencoba membangun yang baru. Mudah2an milik saya ini bisa diwariskan ke generasi selanjutnya…
Pingback: SEGALA SESUATU MEMILIKI ASAL MULA | Tengkuputeh