MOHAMMAD VAN MOEKIM XXII, PEMIMPIN ACEH IDAMAN
Menjadi pemimpin hakikatnya adalah baik, menjadi pedagang ma’rifatnya juga baik. Namun menjadi tidak baik ketika pemimpin menjadi pedagang pada saat bersamaan. Orang-orang berkata, bukankah Rasullullah awalnya sebelum pemimpin adalah seorang pedagang. Jikalah terbuka pikir kita, dengan kata “awalnya” tentulah kita mengingat bacaan sirah nabawiyah bahwa ketika Rasullullah ketika mulai berdakwah telah meninggalkan segala kegiatan dagang. Jelaslah jika pemimpin yang sekaligus berdagang dengan mendasarkan kepada Rasulullah adalah mengada-ada, jikalah kita tak tega berkata mereka adalah pembohong durjana.
Pemimpin itu yang terbaik adalah jelas asal-usulnya. Paling baik kita tilik dari masa-masa penuh kebaikan, bukan masa setelah Belanda menjajah. Pada masa Kesultanan Aceh dapatlah kita ketahui bahwa Aceh Inti (Acheh Proper) terdiri dari inti, yaitu tanah Kesultanan, dibawah itu daerah merdeka yaitu Lhong Bata, dan disekeliling itu terletaklah Sagoe XXVI, Sagoe XXII dan Sagoe XXV.
Didalam masing-masing Sagoe ada beberapa wilayah Uleebalang. Kita jumlahkan banyak jumlahnya. Sagi yang terletak di sebelah Timur ibukota dan Lhong Bata dinamakan Sagoe XXVI Moekim, atau diringkas Sagoe XXVI. Maka Sagoe yang ada disebelah Selatan ialah Sagoe XXII dan disebelah Barat Sagoe XXV.
Mohammad van Moekim XII adalah seseorang yang memangku kebesaran secara turun-temurun, daerahnya terletak disebelah Selatan terdiri dari pegunungan-pegunungan serta rimba raya, oleh karena itu daerah itu mempunyai alat-alat pertahanan yang kokoh pemberian dari alam. Pada masa peperangan melawan Belanda daerah ini merupakan penghasil pasukan terbesar bagi pihak Aceh. Moekim XXII sendiri dikalahkan oleh Belanda dengan cara curang yaitu membakar seluruh kampung yang terletak disitu; Seuneulop, Montasik, Cot Gli diratakan dengan tanah oleh Belanda sehingga penduduk disitu harus melarikan diri ke gunung dan tak pernah takluk oleh Belanda pada masa peperangan. Maka mereka yang di Moekim XXII bukanlah mereka yang bisa bermanis muka pada kuasa penjajah.
Sungguh sulit menemukan karakter pemimpin sesuai dengan Mohammad van Moekim XXII. Sebagaimana kita ketahui, Aceh terkenal dengan khazanah budaya, adat-istiadat, warisan kebudayaan Islam serta Sumber Daya Alam yang cukup melimpah. Namun pemimpin yang memimpin selama ini kerap melupakan pembangunan Sumber Daya Manusia, prasarana serta energi. Padahal itulah semestinya yang harus menjadi program utama pemimpin. Sebagai sebuah provinsi yang berada dalam “jalan buntu” transportasi (Aceh bukan persimpangan jalan ekonomi yang terletak di ujung Barat Indonesia), maka jika ingin menjadi sebuah provinsi yang mumpuni harus mampu mengurusi diri sendiri. (Tidak tergantung akses kelistrikan dan pelabuhan dari Sumatera Utara), sehingga dapat memberi manfaat kepada daerah lainnya dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Mengapa Aceh hanya sibuk dengan politik anggaran? Berapa lama lagi “tuah” otonomi khusus (otsus) dapat dinikmati? Sesungguhnya jika kita jeli melihat betapa kocak pemimpin Aceh hari ini dalam perdebatan sengit akan angka-angka di APBA, tapi pembangunan hanya angka-angka semata. Bocor dimana-mana akibat syahwat belaka. Itu terjadi karena pemimpin memimpin hanya untuk waktu luang semata, tugas yang dijunjung sebenarnya adalah pedagang. Jual sini dan jual sana. Tentu Mohammad van Moekim XXII tidak akan berlaku seperti itu, tidak ada jiwa dagang dalam tubuhnya. Ia “cekang” membela rakyat, lebih baik anak istri di rumah kelaparan, daripada rakyat yang kelaparan. Begitu pengakuan istri beliau.
Ingat, pemimpin bukan untuk mencari waktu luang. Bukan pula untuk mempersiapkan kerajaan bisnis di luar Aceh. Bukan pula memamerkan gelar akademis, kealiman serta pengalaman yang tak ada hubungannya dengan kemampuan untuk hidup dan mengelola budaya, adat-istiadat, serta kekayaan alam di Aceh. Pemimpin itu bukan untuk sekedar menambah istri apalagi untuk sekedar menambah kendaraan (darat, laut dan udara). Jika itu pemimpin Aceh maka musibah melanda kita semua.
Paling penting adalah mengelola Sumber Daya Manusia, sebagaimana yang kita ketahui para indatu kita telah banyak yang gugur ketika perang dengan Belanda. Wikipedia berkata 70.000 tentara dan 100.000 penduduk sipil dibantai oleh Belanda yang mengaku membawa peradaban ke Nusantara, termasuk agama mereka. Bukan jumlah yang sedikit terutama jika dikonversi dengan penduduk Aceh hari ini yang “hanya” 5 jutaan. Yang selamat adalah kerak-kerak orang Aceh yang takut dengan Belanda.
Tapi jangan marah dulu! Menurut teori evolusi Darwin yang selamat adalah mereka-mereka yang beradaptasi sehingga tetap terus hidup. Kecerdasan mereka yang selamat tentu melebihi “kecoak” yang mampu beradaptasi dari zaman Dinosaurus sampai sekarang. Mohammad van Moekim XXII ingin membangkitkan kejayaan masa lalu dengan heroisme lama dengan memanggil dan membangkitkan jiwa-jiwa patriot guna membangun Aceh.
Mohammad van Moekim XII siap menemani para pengusaha lokal, rela berkorban tidak memakai baju rapi dan menyingsingkan lengan baju serta tidak tidur untuk memastikan Aceh tetap memilki pengusaha dan saudagar handal di masa yang akan datang. Sebagaimana di masa lalu Aceh maju karena perdagangan lada, mereka para pengusaha mikro, kecil, menengah adalah pahlawan di era globalisasi. Tentu Mohammad van Moekim XXII tidak ada kepentingan lain, selain memajukan mereka. Dia tidak bisa berdagang, tidak bisa main proyek jadi tidak ada konflik kepentingan.
Karena Mohammad van Moekim XXII tidak buta. Ia sadar Aceh merupakan jalan buntu, perlu membuka akses perdagangan yaitu pelabuhan Sabang sehingga berbagai hasil karya dan jerih payah rakyat Aceh dapat dipasarkan dengan biaya angkut murah dan tidak harus melalui cukong-cukong di Belawan. Entah kenapa pemimpin Aceh dibelakang hari juling sehingga rakyat Aceh jika membeli sesuatu mendapatkan harga termahal (menanggung ongkos sepanjang Sumatera) tapi ketika menjual juga mendapat laba terkecil (lagi-lagi menanggung ongkos sepanjang Sumatera). Ah, mungkin jiwa dagang mereka yang membuat juling tapi dapat dipastikan Mohammad van Moekim XXII tidak akan begitu.
Iya. Jalan, jembatan, pelabuhan, Bandar udara, pasar, sanitasi, kereta api dan semua intrastruktur wajib dibangun, dimanfaatkan oleh pengusaha, petani, nelayan. Yang tentunya akan mendorong sektor jasa, produksi dan industri. Kenapa? Lha, dengan daya beli masyarakat pedesaan yang kuat maka mereka tidak meminjam pada rintenir serta meningkatkan pendapatan perkapita. Jadi masyarakat tidak terjerat makelar, tengkulak apalagi mengharap bantuan dari calo proyek.
Ia jujur sehingga tidak akan berjanji membagi uang per Kepala Keluarga, tidak berjanji naik haji gratis. Juga tidak berjanji membeli kapal pesiar. Sasarannya adalah mengelola uang rakyat untuk memastikan masa depan yang lebih baik, yaitu energi yang terbarukan. Panas bumi di Seulawah layak dikelola menjadi pembangkit listrik yang menghidupkan Aceh secara keseluruhan dan tidak tergantung lagi pada Sumatera Utara. Hal ini akan menggiatkan banyak hal. Investasi dan industri akan bersemangat, dan wisatawan akan melihat Aceh sebagai daerah yang layak dikunjungi. Ketersedian energi sangat penting.
Mohammad van Moekim XXII siap membawa Aceh kedepan, memegang erat tangan anak-anak Aceh, melangkah dan Aceh akan kembali megah.
*) Bagi yang terlalu serius membaca tulisan ini, penulis mengingatkan bahwa ini hanyalah “satire” dan jika anda tidak tahu apa itu “satire” silahkan buka Kamus Besar Bahasa Indonesia. Atau masih malas mencari, Klik disini.