ARIF
Apa yang diperoleh bila seseorang (atau sekelompok) suatu hari kehilangan kejayaannya? Akankah kemarahan atau kekecewaan menguasai? Atau mungkin kesepian? Tapi barangkali kearifan adalah yang paling baik.
Sekelompok tifosi AC Milan di malam berhujan itu mesti rela pertandingan melawan Sassuolo (25 Oktober 2015 pukul 21.00 WIB), di langsungkan dilayar infocus yang tertembak di dinding, streaming putus-putus dan tanpa suara. Warung kopi yang dijadikan basecamp lebih memilih menayangkan derby Manchester dengan suara menggelegar dalam fokus yang maksimal, bahkan televisi kecil (dengan suara tentunya) di dekat mereka lebih mengutamakan partai seru liga Inggris tersebut.
Salahkah? Mungkin tidak. Serie A sudah menurun banyak dibandingkan beberapa dekade lalu, dan AC Milan sendiri sudah tiga musim berturut-turut bermain seperti tim medioker. Tim ini, tidak lagi menunjukkan mental seperti di Athena 2007 lalu. Di dunia yang penuh kompetisi, apa yang terjadi hari itu wajar-wajar saja.
Di dunia yang sedih dan tak sempurna, selalu saja orang harus bertanding dengan akhir yang tak selamanya tenteram. Untuk tiap pemenang harus ada yang kalah, dan para pemenang hanya dapat ada bila ada yang kalah.
Di dunia yang sedih dan tak sempurna, tak semua orang bisa menjadi pemenang. Sebagian akan menderita kekalahan. Politik ekonomi berlangsung seperti permainan bola saat final, piala yang diperebutkan tak bisa dibagi sama.
Kejadian tersebut, tidak pernah dibayangkan (10 tahun lalu) oleh tim yang pernah dijuluki The Dream Team tersebut, menghilang dari persaingan di Eropa bahkan tertatih-tatih dalam liga domestik Italia.
Nikita Khrushchev menulis dalam memoarnya, “kosongnya hidup seorang pensiunan sering menerawangkan hati. Kadang saya tak tahu apa yang akan saya lakukan dengan diri saya. Saya tak tahu apa yang akan saya lakukan dengan waktu saya.”
Lalu, seperti dikemukakannya dalam buku kedua Khrushchev Remembers, ia ditolong oleh sebuah kamera. Pemberian Walikota Goteborg, ketika Khrushchev, sebagai presiden Uni Sovyet mengunjungi Swedia. Di masa setelah Nikita disingkirkan dari tahtanya yang perkasa, benda itulah yang ditimangnya. “kamera itu membantu saya mengisi kehampaan hidup saya,” tulisnya terus terang.
Agaknya bagi Khrushchev, kamera itu juga tanda tentang persahabatan dan kebaikan hati orang lain. Dua hal yang tak terasa bila seseorang dipuncak kekuasaan. Di puncak itu “persahabatan” ibarat tali yang getas, sering palsu. Teman selalu bisa menjadi musuh, atau penghambat, yang bila perlu disingkirkan. Di sekitar selalu berkerumun penjilat.
Dan “kebaikan hati”? Dari orang lain, itu terasa cuma sederet taktik. Apalagi Uni Sovyet (ketika itu) adalah sebuah negeri yang tak mengizinkan orang bicara bebas. Di situ para pemimpin dihukum untuk dirundung selalu curiga, akhirnya tak banyak lagi orang berani terus terang.
Mungkin itulah sebabnya setelah ia tak lagi berkuasa, Khrushchev dengan sebuah kamera dari Walikota Goteberg bisa melihat dunia yang lebih memikat. Lebih terang, ada penyesalan dalam dirinya, bahwa, misalnya, sewaktu dia berkuasa telah menindak Boris Pasternak. Penulis novel Doktor Zhivago, yang menulis begitu indah, dilarang menerbitkan bukunya di dalam negeri, lalu dimaki-maki oleh hampir seluruh corong komunis di dunia.
Khrushchev menulis di masa pensiunnya. “Bila berurusan dengan pikiran kreatif, tindakan administratif selalu paling merusak dan tak progresif.” Ia tahu penyesalannya dalam hal Doktor Zhivago mungkin telat, tapi katanya pula, “lebih baik telat daripada tidak pernah sama sekali.”
Itulah kearifan yang datang setelah kekuasaan hilang. Seperti diakuinya itu terlambat, tapi kearifan selalu sesuatu yang berharga untuk disambungkan ke orang lain. Terutama orang lain yang, terenyak di kursi kekuasaan, belum menemukannya.
Sebab kekuasaan, selain memberi kemampuan, ternyata juga memberi ketidakmampuan. Kalau orang sedang menjabat, bekerja atau tidak, sukar melihat dirinya sendiri. Sukar.
“Sekarang saya kurang lebih dapat mengerti bagaimana dulunya perasaan tifosi Napoli, Fiorentina, Roma bahkan Lazio sedikit demi sedikit.” Kata-kata itu tidak datang dari Presiden AC Milan, Silvio Berlusconi atau bahkan CEO AC Milan, Andriano Galliani melainkan seorang tifosi biasa.
Ketika pemilik warung diakhir pertandingan datang menyalami dan memohon agar para Milanisti mengerti bahwa ia harus mengedepankan selera pasar, ia hanya tersenyum memahami dan mengucapkan terima kasih.
Kearifan membuat kita mengerti, tak ada zaman yang sempurna, memang. Tapi bila karena itu kita bisa memaafkan suatu keadaan, kita bisa menerima alternatif lain.
Ketika kita menertawakan mereka yang mencemooh dan menghina, karena dalam tragedi kita belajar betapa penting nilai humor. Kearifan yang sulit dipelajari pada masa kejayaan
Pingback: MUHASABAH | Tengkuputeh