SEPULUH NATIJAH
Pasti ada hikmah akan segala sesuatu, kejadian dan makhluk di dunia. Kadang-kadang teka-teki adalah kebenaran, dan betapa bahasa bisa sangat ahli menyembunyikan kebenaran.
“ini adalah gunung yang harus ku daki sendiri.”
Adalah jawaban pertanyaan, “aku ingin menanyakan kebaikan hati tuan.”
Pada saat lalu, masih dimusim kemarau ini.
I
“Aku hanya ingin sedikit mengenang kesenangan dunia. Aku tak meminta apa-apa, dan juga tak bisa memberi apa-apa.”
“Jangan kehilangan nyali sekarang, sementara kita telah berjalan sejauh ini.”
Apalah waktu selain gerakan? Apalah gerakan selain panas? Dan bukankah energi dan panas adalah nama yang berbeda untuk hal yang sama.
II
“Aku lemah, jadi beralasan. Kalau sendirian tak bisa apa-apa dan aku benci itu.”
“Kita mungkin gagal. Meski demikian, tetap ada yang berharga yang kita perkelahikan.”
Tak aneh jika banyak orang duduk, terhenyak, melihat kini bukan sebagai kini, melainkan sebagai masa silam yang cacat.
III
“Sekuat apapun aku berniat berjuang, diriku sendirilah yang menarikku.”
“Aku pun pernah merasakan kehilangan sesuatu yang berharga karena ketidakmampuan diri sendiri.”
“Aku sebenarnya tak tahu, muka mana dari takdir yang akan muncul dan apa yang menyebabkannya. Kupilih besok, tapi aku tak tahu apa yang akan terjadi nanti dengan sisa hidupku. Aku tak tahu, tapi aku tak takut. Aku siap.”
Bukankah kalau jika saling memahami satu sama lain maka jalannya akan terbuka dengan sendirinya.
IV
“Perasaan kecil pun tak dapat ku jaga.”
“Mengapa segalanya begitu sulit?”
“Rasanya sunguh salah jika begitu banyak orang menderita demi tujuan yang tak akan tercapai.”
Bayangan sulit ditangani, apabila ia diusir, ditempat lain ia muncul menari-nari. Betapa sebuah keheningan bisa memekakkan telinga.
V
“Demi orang yang ingin kulindungi, aku akan berusaha mati-matian. Jika harus kehilangan nyawa, itu sesuai harapanku. Meski dengan membuang segalanya, bahkan sampai tubuh ini terbakar habis.”
Jiwa itu sudah lama pergi, sudah lama meninggalkannya, aku tidak tahu. Mungkin jiwa itu tidak pernah benar-benar berada disana. Mungkin, aku hanya mengharapkannya atau mengkhayalkannya. Pada saat itu, aku sedang menatap mayat, tapi menolak untuk mempercayai kematiannya.
VI
“Tapi bukankah dongeng yang kita sukai bisa bercerita tentang hasrat dan cemas kita yang tersembunyi?”
Kata tapi mengugurkan kalimat sebelumnya, namun apa yang hendak dibatalkan bila tiada kalimat sebelum kata tapi. Tiada dongeng, tidak disini.
“Aku sudah mati. Aku sudah mati di dalam hati, tetapi aku akan menyelesaikan apa yang harus aku lakukan.”
VII
“Sungguh aku tak mengenal benci atau dendam.”
Apakah ia hendak mengatakan dirinya manusia suci yang tak mengatakan rasa benci atau dendam.
Kurasa ia ingin mengatasi dirinya sendiri.
VIII
Senjata yang dipegang untuk melukai musuh ini suatu saat juga dapat melukai tangan yang menggengamnya.
“Langit malam. Apa yang kucari? Apa bisa menemukannya? Dimana? Bukankah itu sesuatu yang penting?”
Memiliki kekuatan, keberuntungankah? Ataukah sebuah kemalangan.
IX
Maka senyuman mereka terbungkus kenangan dan kerinduan ironis yang tak terucapkan
Titik dimana lupa menyiapkan kekosongan, di antara kerlip dan hilang.
“Ini bukan saatnya melihat, di depan gelap gulita.”
Ia ingat sejuk tadi pagi, setelah malam yang gerah. Ia ingat burung. Ia ingat kembang anggrek. Ia merasakan sesuatu yang mengguncangkan hatinya. Bukankah malam tergelap adalah sebelum fajar?
“Ini saat bersunyi-sunyi.”
Luka separah apapun mampu disembuhkan, tapi tidak sepatutnya menyebabkan orang tertawa.
X
Magnificent Navijah, you just received a new reader. Apa makna filosofinya? 😀
Natijah berarti kesimpulan dalam bahasa Indonesia. Terkadang Abu tidak memiliki kemampuan menjelaskan makna kata dari tulisan yang telah Abu buat. Seperti panah ia melayang tanpa kendali lagi. Mohon dimaafkan.
#Pasti ada hikmah akan segala sesuatu, kejadian dan makhluk di dunia. Kadang-kadang teka-teki adalah kebenaran, dan betapa bahasa bisa sangat ahli menyembunyikan kebenaran.
Tidak paham 😀
Ketidaktahuan adalah jalan menuju ilmu 😀