THINK GLOBALLY, DRESS LOCALLY
“Think Globally Dress Locally,” Sebuah palmflet tertera pada resepsionis Losmen Singgahan yang terletak di pasar kota Lamno di pesisir Barat Aceh, artinya “Berpikir global berpakaian lokal”. Kota yang terkenal dengan keturunan Portugisnya dulu.
Lamno yang pada masa kuno disebut dengan Meureuhom Daya (Kabupaten Aceh Jaya, sekarang) adalah tempat berasal Po Teumeureuhom (Kelak Ali Mogayatsyah) merupakan pendiri Kesultanan Aceh Darussalam (Islam) untuk melepaskan diri dari Kerajaan Pedir Hindu (Kabupaten Pidie sekarang).
Logika Abu masa kecil tergelitik ketika membaca tulisan tersebut belasan tahun yang lalu, sehingga yang sama sekali tidak mengetahui artinya namun menyadari bahwa palmflet itu memiliki arti yang kuat. Walau pemilik losmen yang notabene lulusan sebuah universitas di Jerman hanya mengatakan bahwa kelak suatu hari Abu akan memahami makna slogan tersebut.
Tak pelak beliau langsung Abu daulat menjadi salah satu idola masa kecil, disamping tokoh proklamator kita bung Hatta. Seorang tokoh yang memilih berbakti kepada negara dalam konteks lokal daripada menggunakan ijazahnya di luar negeri. Itulah Nasionalisme sejati benak Abu kecil.
Lamno sendiri merupakan satu-satunya kota kecil yang masih bertahan setelah bencana Tsunami menghantam pesisir Barat Aceh, dari total 40 desa yang bernaung didalamnya tercatat 10 desa tak tersentuh oleh bencana tersebut. Sedang losmen Singgahan yang berada di pasar Lamno tetap berdiri tegak dengan segala kerentaannya ketika terakhir kali Abu berkunjung kesana Juni 2008.
Betapa kita tak menyadari bahwa dunia ini terlalu kecil, ketika Abu menanyakan nasib pemilik losmen tersebut kepada Mr.Popo yang dari pihak ibu berasal dari pihak ibu berasal dari Kota Lamno, ternyata pemilik losmen tersebut adalah paman dari Mr.Popo. Dan beliau pada saat kejadian berada dipasar sehingga selamat dari bencana Tsunami yang meluluhlantakkan kampungnya.
“Berpikir global berpakaian lokal” memiliki makna yang dalam, dan akan tetap menjadi sebuah pemikiran yang segar walaupun waktu terus berjalan. Setelah bencana Tsunami menerjang Aceh dan dinobatkan sebagai bencana terdasyat sepanjang masa maka berbondong-bondonglah orang-orang asing datang kebumi Serambi Mekkah yang setelah era penjajahan Belanda hampir tak pernah orang Aceh menemui orang-orang Asing!
Tak dapat dihindari orang-orang asing tersebut membawa kebudayaan mereka. Tak peduli dia hanya sukarelawan, misionaris, agen CIA, Mossad atau seorang dermawan semua datang dengan maksud dan tujuan sendiri.
Mungkin pada awalnya terjadi Cultural Shock bagi tanah rencong yang menganut hukum syariat Islam dengan kebudayaan Barat, namun pelan-pelan proses Akulturasi itu terjadi. Penetrasi Kebudayaan yang kuat mendesak kebudayaan yang lemah adalah jamak. Maka jangan heran jika anda melihat Banda Aceh hari ini sangat berbeda dengan Banda Aceh lima tahun yang lalu baik bentuk maupun isi.
Abu tidak anti dengan kebudayaan Barat, karena kebudayaan tersebut memiliki prinsip berpikir secara sistematis, organisasi yang lebih rapi, dorongan untuk menuntut ilmu dan yang paling utama adalah kekuatan ekonominya.
Namun itu semua itu tidak kita tiru, kenapa? Karena itu semua membutuhkan waktu dan proses, semua itu tidak dapat diperoleh sekali jadi. Namun apa yang dapat kita tiru dari kebudayaan Barat secara Instan? Ya segala keburukannya yaitu budaya minum, budaya free sex. Itu sangat gampang ditiru dan itulah yang terjadi hari ini, dan Abu tidak hanya mengatakan untuk Aceh saja tapi untuk seluruh dunia.
Dunia ini selalu berubah dan perubahan itu hari ini bernama globalisasi namun sangat penting bagi kita untuk memaknai perubahan tersebut dengan kearifan lokal. “Think Globally Dress Locally” kata-kata ini bahkan masih relevan hari ini.
Baca juga: KISAH KISAH PETUALANGAN SI ABU
Jarang kita menemukan orang yang “Think Globally Dress Locally” ,wajar kalau jadi idola Abu
Alhamdulillah dalam kehidupan ini Abu banyak bertemu orang-orang yang luar biasa menginspirasi….
Pingback: SEGALA SESUATU MEMILIKI ASAL MULA | Tengkuputeh