CEPAT SEMBUH TENGKU
Pendidikan formal beliau hanyalah SR (Sekolah Rakyat), yang untuk lulus harus harus menempuh perjalanan kaki 260 km ke Koeta Radja (Nama Banda Aceh pada zaman Belanda dan awal kemerdekaan). SR entah berantah itu kelak dibakar oleh pemberontak DI/TII pimpinan Daud Beureueh karena dianggap sebagai tempat pengkaderan paham sekuler oleh rezim Soekarno.
Selebihnya beliau menuntut ilmu dari dayah ke dayah, demi sesuap ilmu. Yang Abu bicarakan disini tidak lain dan tidak bukan adalah Tengku Salek Pungo seorang mentor sekaligus tempat seorang anak yatim ini bertukar pendapat.
Hari ini sungguh sudah tiga tahun sejak pertama kali Abu bertemu dengan beliau, dari seorang kenalan biasa hingga menjadi salah seorang murid yang paling bandel, paling sering melawan dan (asumsi Abu) yang paling disayangi.
Bagi banyak orang TSP adalah orang yang menakutkan. Mengapa? Karena beliau adalah orang yang tidak pernah menampakkan raut emosi kemarahan dan hanya diam apabila tidak berkenan dengan sesuatu. Suatu hal yang dianggap masyarakat pesisir Selat Malaka sebagai puncak emosi yang terkendali.
Beda dengan diri Abu yang berkultur Koeta Radja yang menantang ganasnya Samudera Hindia, yang kulturnya meledak-ledak serta bergelombang pasang. Sifat beliau ini tidak mempan, bahkan sering meng-kick beliau dengan argumen-argumen post modern.
Tiga tahun sudah, bilangan waktu tak pernah sia-sia. Abu menyadari sudah banyak hikmah yang Abu serap dari beliau, emosi putra tepian Samudera Hindia ini sudah setenang Selat Malaka.
Kemarin Abu berjumpa dengan beliau, rambutnya sudah mulai memutih dan semakin tipis, Tungkai kakinya seolah sudah lelah menopang tubuhnya, urat-urat tangan beliau melepuh seiring waktu tujuh puluh sembilan tahun. Ketika Abu shalat sebagai makmum dibelakang seolah tubuh beliau semakin membungkuk dan batuk beliau membuat Abu sangat khawatir.
Melihat kondisi kesehatan beliau, jujur diri ini merasakan ketakutan yang amat dalam akan kehilangan. Abu menyadari tak ada yang abadi di dunia ini, setiap makhluk akan dipanggil sang Khalik dalam pelukan dan kasih sayang-Nya.
Sebagai murid dan guru kami sering tak sepaham dan tanpa sungkan mengutarakan langsung tanpa basa-basi. Ketika Abu menceritakan sedang menggarap serial Mitologi beliau meyuruh menghentikannya dengan segera!
“Jangan penjarakan imajinasi saya Tengku!” Hanya itu kata-kata Abu dan beliau hanya diam tanpa suara. Bahkan hingga hari ini beliau kerap menyindir Abu Pro-Hellenis, dan dengan pedas menuding tanpa sadar Abu menjadi salah satu agen Barat. Padahal beliau tak pernah membaca dengan tuntas novella yang sedang Abu garap.
Namun bagaimanapun bila harus kehilangan beliau sekarang kok rasanya Abu belum mampu. TSP adalah orang yang dekat dengan masa lalu, yang kerap dilupakan namun sebenarnya menyimpan sejuta pelajaran kepada kita di masa sekarang.
Beliau membantah keras dalam kondisi sakit namun Abu tahu tubuh tuanya telah merenta, sejumlah kuitansi masa muda sekarang waktunya ditagih. Tongkat yang menopang tubuh membungkuk udang tersebut semakin aus ditelan perputaran zaman.
Seperti yang Tengku bilang kepada Abu, “Mata kamu seperti orang pandir yang haus akan lautan ilmu.” Merupakan satu-satunya pujian yang Abu ingat keluar dari mulut beliau. Untuk itu Tengku masih harus hidup untuk mengairi jiwa Abu dengan embun ilmu dan hikmah.
Semoga cepat sembuh Tengku, begitulah ucap dan doa Abu malam ini.
Baca juga: KISAH KISAH PETUALANGAN SI ABU
Pingback: SEGALA SESUATU MEMILIKI ASAL MULA | Tengkuputeh