BUAH TANGAN
Buah tangan atau oleh-oleh adalah sesuatu hal yang jamak di negeri ini, barangkali tidak ada terjemahan buat oleh-oleh. Kata Inggris present biasanya dipakai untuk menerjemahkan oleh-oleh, terasa kurang pas. Ia memang sebangsa hadiah, tapi oleh-oleh bukan hadiah, jadi apa dong? Itulah repotnya oleh-oleh. Jika Oma pulang dari pasar membawa pulang donat, maka el-Bahri akan berseru kegirangan : “Hore, oma membawa pulang oleh-oleh!”
Seorang pengamat ekonomi, yang Abu lupa namanya, melihat hubungan yang jelas antara budaya oleh-oleh dengan korupsi di negeri kita. Katanya korupsi di negeri kita akan berhenti betul, tuntas ke akarnya, bila budaya oleh-oleh sudah lenyap dari muka bumi kita. Ya, bahkan sebelum oleh-oleh kepada seluruh jaringan keluarga sendiri dihentikan, tidak bakalan korupsi di negeri kita akan berhenti.
Dahsyat benar pengamatan itu. Pengamatan itu sudah tidak lagi melihat batas antara oleh-oleh dan upeti. Meskipun harus diakui juga bahwa semua yang datang membawa barang tersebut, barang bawaannya itu sebagai oleh-oleh. Itu berarti istilah oleh-oleh dianggap sebagai istilah netral dan tidak mengundang tusukan perasaan. Upeti jelas membawa pesan, sesuatu untuk sesuatu. Sang bupati taklukkan membawa upeti kepada sultan agar tidak diserang wilayahnya. Sang Bupati membawa oleh-oleh buat bapak gubernur? Ya, supaya lancar pembangunan wilayahnya.
Untunglah istri Abu bukan seorang ekonom, ia tidak mendengar ocehan dan tulisan intelektual yang sok cemerlang itu. Waktu Abu ketiban pulung mendapat dinas ke luar kota, tidak sesaat pun analisis sang pengamat ekonomi tentang hal tersebut terlintas dpikirannya. Lha, istri Abu tidak pernah tahu tentang analisis itu.
Hanya Abu yang cukup pucat sebentar-bentar mengecek dompet, yang sangat tipis di akhir bulan. Melalui pembicaraan ringan, Abu berusaha mereduksi yang namanya oleh-oleh. Ya, mau bagaimana lagi, sebagai pegawai kecil, anggaran sangat terbatas. Sangking terbatasnya anggaran, sebuah buku yang sangat Abu inginkan, terpaksa ditunda pembeliannya (Poor Me).
Malamnya Abu bermimpi, dua keponakan jenius, el-Bahri dan el-Moro bernyanyi koor, “oleh-oleh, oleh-oleh, oleh-oleh.” Akhirnya istri memutuskan membeli oleh-oleh buat mereka, alasannya dana boleh terbatas tapi oleh-oleh mesti dong. Namanya mereka handai tolan, belum seberuntung kita. Dan seterusnya, dan dan seterusnya.
Kami keluar masuk toko, dan mengecek oleh-oleh mana yang sesuai dengan dompet. Akhirnya kopor ditutup dan terkunci, Abu tercenung sebentar. Apakah nanti oleh-oleh yang dibawa pulang merupakan jembatan buat korupsi. Astafirullah!!!
“Wah, alangkah senangnya El Bahri dan El Moro dengan kacamata renang itu nanti, Bang Abu!” Abu membayangkan dua jenius Paya Bakong itu membanting-banting kacamata renang yang kami beli, menyelam dalam bak mandi. Abu membayangkan wajah-wajah gembira mereka, jaringan keluarga! Alangkah aneh dan hangatnya kamu, oleh-oleh! Alangkah manis, hangat dan berbahayanya kamu. Korupsi! Wah, alangkah…
Pingback: SEGALA SESUATU MEMILIKI ASAL MULA | Tengkuputeh
Pingback: PENANTIAN - TengkuputehTengkuputeh