PETUALANGAN CHAN
“Tidak ada satupun yang dapat menolongmu kecuali dirimu sendiri.”
Suara senyap, bahkan suara burung sedari tadi berbunyi seolah sirna sekejap, aku hanya menundukkan kepala takzim.
“Chan, berapa umurmu sekarang?”
“Delapan belas tahun guru.”
“Sudah dua belas musim semi, ya sejak aku menemukanmu dulu. Melatihmu sehingga sekarang engkau sudah menguasai jurus cakar peremuk tulang.”
Ya, dua belas tahun ketika aku bertemu guru. Kata beliau aku ditemukan dijurang, aku bahkan tak mengingat siapa diriku. Satu-satunya identitas adalah kalung yang dengan perak pipih bermata bertuliskan, Chan. Dan selama ini banyak yang kupelajari dari guru, satu-satunya orang yang kukenal didunia. Dan selama itu guru tidak bertambah tua, wajahnya masih sama tidak berubah sama sekali. Guru pernah bercerita, bahwa ia pernah memakan ginseng terkutuk untuk mencegah dirinya menua. Sesuatu hal yang disesali olehnya.
“Sudah saatnya kamu pergi.”
Aku terkejut diantara tidak terkejut. Sebelumnya guru pernah berkata aku harus melihat dunia kalau sudah menguasai jurus Cakar Peremuk Tulang. Namun aku belum siap pergi sekarang, “guru mengusirku.” Aku belum mau turun dari gunung Shian. Aku suka disini. Aku memiliki satu-satu orang didunia yang menjadi kerabatku, guruku.
“Bergeraklah anakku.” Belum pernah guru memanggilku dengan sebutan itu, biasanya hanya Chan.
Lelaki tidak boleh menangis itu yang diajarkan oleh guru, aku tak pernah pergi jauh. Aku takut, aku sedih, aku tidak mau! “Kemana aku harus pergi guru? Tanpa guru aku hidup sebatang kara.” Aku memelas.
“Chan. Tinggalkan Tibet. Pergilah ke Selatan kamu akan menjumpai orang-orang keling di Hindustan. Lalu berjalanlah ke Timur melewati Burma menuju Indocina temui saudaraku Dragon disana.” Datar, guru selalu tanpa emosi dalam berkata-kata. “Tolong sampaikan suratku ini padanya.”
Aku ingin menolak, ingin sekali.
“Chan, Dragon dan aku adalah saudara sedarah. Sampaikan salamku padanya, dari Tiger.”
Seumur-umur aku tak tahu nama guru, hanya guru panggilanku. Tak pernah kubayangkan bahwa guru adalah sebuah entitas yang memiliki saudara bahkan nama, bagiku guru adalah segalanya. Kadang-kadang aku melihatnya bahkan sebagai Dewa. Dewa Guru.
Aku mengambil gulungan surat itu. Hari sudah sore. “Baik guru, aku akan berangkat sekarang.” Tekadku belum bulat, tapi aku harus yakin dengan diriku.
Mata guru kosong melihat aku bergegas membereskan pakaian. Aku tahu guru pasti bersedih, melebihi diriku sendiri. Kami saling mengerti. kami berbagi cerita, makanan, dan segalanya. Pasti sulit kehilangan sesuatu yang menjadi bagian dari hidup, sesuatu hal yang terbiasa dan menjadi kebiasaan.
“Chan bawalah ini sebagai bekal.” Guru menyerahkan sekantung uang. Kubuka, tail emas! Darimana guru memiliki ini? “Sedikit simpanan dari masa lalu.” Ia tersenyum melihat keterkejutanku.
Salju tiba-tiba turun, perpisahan memang selalu pahit. “Guru, kalau nanti aku sudah pergi. Menikahlah.”
Guru ingin membantah, tapi aku berbalik. Aku tak ingin membuat suasana tambah melankolis, biarkan ini berlalu dengan datar. Lebih baik tanpa kesan terlalu mendalam, karena suatu hari pasti aku akan kembali.
Aku berjalan dan tak lagi menoleh kebelakang, sungguh aku ingin. Tapi aku tak bisa, tak bisa memperlihatkan air mataku pada guru. Dan lebih lagi, aku tak ingin melihat guruku, panutanku, dewaku itu meneteskan air mata. Karena aku tahu sedari tadi ia menahan diri. Kepergianku ini pasti memiliki tujuan penting, aku kenal pak tua berwajah muda itu. Dia memang keras namun dibalik itu pasti ada rahasia yang ia siapkan untukku dan dirinya.
Selamat tinggal guru, selamat tinggal Tibet. Suatu hari Chan akan kembali. Menuruni gunung shian ditengah salju pertama turun, tapi dadaku terasa hangat. Hindustan di Selatan.
XXXXXXXXXXXXXXXX
kisahnya bener2 seru, mas tengku. dah ndak sabaran pingin lihat lanjutannya, benarkah chan akan mengakhiri masa petualangannya dan kembali bertemu dg gurunya?
Harapan saya juga begitu mas…
Pingback: TERIMA KASIH PADA SASTRA | FROM KOETARADJA WITH LOVE