
Namun, kawan seandainya kita bisa tahu dengan siapa kita akan berjumpa lalu jatuh cinta seperti tak ada lagi hari esok.
MENGAPA MENULIS
“Setiap manusia memiliki luka, saya sendiri mempunyainya. Ia hidup terus, ia disana, luka yang lama ini, ia disitu, dalam coretan-coretan kertas. Yang masih terlibat air mata dalam darah”.
“Mengapa harus menulis?” Seorang teman bertanya sekilas. Tanpa sengaja ia membaca tulisan-tulisan yang terangkum, meski ia mengaku tidak mengerti sebagian besar yang tertulis, ia menemukan perubahan pola-pola yang ia katakan berkembang. Namun di sisi lain ia menertawakan beberapa tulisan, yang menurut ia konyol.
Setiap penulis yang menulis dalam jangka waktu yang panjang, kemudian membaca ulang tulisannya kembali akan menemukan masalah sebenarnya, yaitu yang tersimpan dalam ingatan hanya rasa jengkel menemukan betapa manusiawinya kamu, dan fakta bahwa kamu ingat bukan pula sebagai manusia sesungguhnya karena itulah memang kenangan, yaitu penafsiran kita atas apa yang kita alami. Satu-satunya perbedaan di sini adalah sebagian besar orang tidak menuliskannya kemudian mempublikasikannya.
Kadang-kadang saya juga bertanya kepada diri sendiri, mengapa terus menulis? Untuk apa?
Saya tidak memahami orang-orang. Apa yang membuat mereka tertawa atau bersedih. Tidak tahu bukan berarti tidak menghargai. Sebagaimana seseorang yang berhati dingin, saya kebingungan membangun hubungan emosional dengan orang-orang sekitar, mungkin karena sedari kecil saya lebih memilih menghabiskan waktu luang dengan membaca, seseorang yang terbiasa membaca segalanya terkadang merasa mengetahui segalanya. Karena itu saya menulis.
Sepanjang masa kanak-kanak, remaja, dan akhirnya dewasa, saya selalu terdorong untuk menulis. Ini adalah kegiatan batin yang nyaris selalu berlangsung secara otomatis, seperti peredaran darah atau pencernaan, yang terjadi semata-mata sebagai bagian diri saya yang alamiah. Saya menulis bentuk apa saja, catatan harian, anekdot dan cerita. Saya menulis untuk memahami orang lain, untuk memberikan kesempatan pada diri saya masuk ke dalam batin mereka sejenak dan mengetahui seperti apa dunia itu dari sudut pandang lain. Saya menulis untuk memahami emosi dan pengalaman yang sudah atau belum pernah saya alami. Dan saya menulis untuk memahami diri saya sendiri.
Saat itu saya, ingat jelas, rasa dingin, bahkan kecemasan samar-samar bahwa seharusnya berada dalam perjalanan pulang. Akan tetapi lembaran kertas membuat saya terpesona. Semuanya tertulis disitu, petualangan, perasaan gembira yang selalu timbul dalam diri saat membaca pengalaman seperti itu. Kaget menyadari hal ini, saya menurunkan kertas yang itu dan memandang dari atas, dan terlanda oleh perasaaan yang begitu hebat, suatu inspirasi. Wow! Saya senang menulis karena menganggap menulis itu seperti berpura-pura. Suatu kesempatan untuk mengubah diri menjadi orang lain pada saat melakukannya dan menjadi orang itu, merasakan apa yang dirasakannya dan mengalami petualangan-petualangannya, saya merasakan mukjizat.
Sebenarnya tidak ada kerangka tunggal yang dapat dijadikan pegangan bagi seluruh penafsiran atas perilku manusia. Disisi lain ini adalah sebuah tokoh dalam cerita. Manusia terlalu kompleks untuk digambarkan secara keseluruhan di atas kertas, Dan sebagiannya, terlalu membosankan. Kehidupan nyata jarang yang berakhir dengan cara memuaskan seperti yang ditulis dalam fiksi, rasanya kehidupan hampir selalu akan menghasilkan akhir yang terlalu suram untuk cerita yang menggetarkan.
Saya menulis untuk mengingat diri sendiri, untuk menertawakannya kelak.
Sesungguh ketika jiwa raga terpenjara, pikiranku bebas mengembara. Mengunjungi negeri-negeri asing. Berperang disamping para Sultan, berunding dengan kaisar Romawi, menunggangi kuda di stepa Mongolia, membelah rimba raksasa Afrika, dan seraya memandangi selat Bophorus, atau bercengkrama ditaman kota Sevilla.
Izin share di twitter yaaa 😀
Silahkan dan terima kasih Aulia 😀
kalo saya mau ijin share di fb 😀
Jangan lupa difollow Twitter blog ini juga ya 😀
Pingback: PERADABAN TANPA TULISAN | Tengkuputeh