NOMOR 48
Tahun 1994 rumah kami selesai diplester keseluruhan, saat itu Abu berumur 10 tahun. Di samping pintu ayah mengecat nomor rumah, nomor 48. Setelah sekitar 5 tahun tinggal disini, rumah kami tidak berbentuk batu bata lagi. Tentu bukan sebuah rumah paripurna, plafon belum ada, halaman masih berupa timbunan batu-batu bekas cor dan pagar masih menggunakan kawat bekas yang berkarat, dan bekas papan mor digunakan sebagai pagar.
Ada kebanggaan di matanya, sesuatu yang tak pernah lekang dari ingatan Abu. Tahun-tahun itu adalah sebuah romansa yang tak akan pernah terulang, setelah kami pindah dari Meulaboh dan sempat menumpang di rumah nenek di Seutui, lalu kami pindah ke rumah sendiri yang masih berlantai pasir hitam, tanpa listrik. Antara tahun 1990-1991 bahkan belum ada listrik, Abu belajar dengan lampu teplok, akibatnya bulu hidung sering hangus. Tokh, tapi itu bukan masa-masa pahit yang patut disesali melainkan sebuah nostalgia penuh dengan canda tawa.
Ayah juga adalah guru mengaji pertama kali Abu, setiap pukul 19.00 WIB kami wajib mematikan televisi 14 inchi hitam putih merk National untuk bersila belajar alif-ba-ta bersama beliau setiap hari. Tak peduli betapa populernya film-film serial di TVRI ketika itu, seperti Highwayman, Street Hawk atau Friday the 13th kami sangat jarang bisa menontonnya, hanya bisa ketika beliau bertugas keluar kota. Sampai dengan tahun 1995 ketika Abu diserahkan ke tengku untuk belajar mengaji lebih lanjut.
Ayah memiliki karakter yang sangat unik, beliau tidak pernah menonton TV kecuali acara berita. Berita Malam, mengajar kami mengaji dan diakhiri dengan Dunia Dalam Berita adalah ritual abadinya setiap malam.
Nomor 48 adalah pilihan beliau untuk rumah kami, tak peduli bahwa kawasan tempat kami tinggal cuma ada sekitar 20 rumah. Dan kampung kami ternyata tidak urut, rumah disamping bernomor 8, sedang didepan rumah kami malah bernomor 17. Kampung kami tidak dibangun oleh pengembang jadi setiap orang menentukan sendiri nomor rumah masing-masing. Ini adalah semacam kemerdekaan, silahkan pilih nomor yang belum dipilih, diperlukan waktu bertahun-tahun bagi kampung kami untuk memiliki rumah bernomor 10 misalnya. Tapi kekacauan ini tidak pernah membingungkan pak pos, setiap surat diantar tepat ke alamat. Menurut Abu, sistem pos di Indonesia adalah sebuah keajaiban di dunia. Kelak, ketika TIKI, JNE dan banyak jasa ekspedisi lain muncul belakangan, kesetiaan Abu terhadap segala jenis pengiriman surat atau barang tetap milik PT. Pos Indonesia.
Waktu itu kami hidup sangat sederhana, sebuah televisi hitam putih dan sebuah vespa biru adalah dua barang paling berharga di rumah. Kami hampir tidak pernah jajan di luar, segala macam jenis jajanan seperti KFC, Es Teler 77 dan sebagainya akan dibuatkan tiruannya oleh mama. Kalaupun ada jajanan yang dibeli adalah mie rebus, alasannya sederhana yaitu isinya banyak jika dibeli bungkus. Atau martabak telur, bersama 4 adik-adik kami biasa berbagi, sebungkus untuk dua-tiga orang, agar kenyang dicampur dengan nasi.
Ayah tak pernah berniat menjadi kaya, bahkan bercerita kepada Abu bahwa ketika kecil pernah berdoa dengan sungguh-sungguh agar tidak diberi cobaan kekayaan. Itu karena ketika kecil dikampungnya ayah melihat betapa anak-anak orang kaya tidak bahagia, berkelakuan buruk, arogan dan manja, malah ketika orang tuanya meninggal berebut harta.
Abu protes, “bagaimana jika orang yang sudah miskin dan tidak bahagia!”
“Kita tidak kaya, apa kamu tidak bahagia?” Tanyanya.
“Bahagia ayah!”
Ia tersenyum, merasakan bahwa telah mencapai keinginannya. Sebenarnya dalam hati kecil Abu ada rasa malu, ketika diantar ke sekolah dengan vespa birunya. Sedang anak-anak lain diantar dengan mobil atau minimal dengan astrea grand. Atau kadang-kadang Abu merasa betapa kumuhnya baju dengan kerah yang koyak akibat terlalu kuat disikat dakinya, atau lengan baju sekolah berumbai-umbai dibandingkan dengan teman-teman yang bajunya setiap hari satu baju. Abu satu baju untuk seminggu. Tapi melihat ayah tersenyum, Abu merasa bahagia dan sejak hari itu berjanji dalam hati tidak akan pernah merasa inferior terhadap siapapun, seterbatas apapun keadaan ekonomi kami.
Tahun 2003 pagar rumah kami selesai, ayah mengecat nomor 48 didindingnya. Abu masih belum mengerti mengapa angka 48? Tapi ternyata setiap angka adalah pertanda, layaknya Al-Quran yang dapat dijelaskan keajaibannya melalui angka-angka di dalamnya. 48 adalah angka yang tak pernah dicapai ayah, pada tanggal 4 April 2004 di usia 47 tahun ayah meninggal dunia.
Waktu itu Abu berusia 20 tahun sedang bersekolah di Medan, kaget dan tak percaya ketika menerima telepon itu. Padahal seminggu sebelumnya Abu pulang ke Banda Aceh untuk membezuk beliau yang sedang sakit, bahkan ketika Abu akan berangkat ke terminal terlihat beliau semakin segar wajahnya dan menampakkan tanda-tanda kesembuhan.
Ayah perkasa yang pada suatu hari mengeluarkan selembar uang lima ribuan, waktu itu bergambar Teuku Umar ia berkata: “Tahukah kamu, ketika uang pertama ditempa iblis sangat bergembira. Ia menciumi koin pertama seraya bersumpah, bahwasanya aku (iblis) telah ridha jika engkau (uang) lebih dipertuhankan dibandingkan aku. Itu semua aku lakukan agar kita dapat melawan penghambaan manusia kepada Tuhan semesta alam yang sesungguhnya yaitu Allah azza wa jalla.”
Dan kini ayah telah tiada.
Abu mengetahui sejak hari itu bahwa seumur hidupnya ayah telah menahan diri terhadap sekutu iblis tersebut. Hal yang coba dipertahankan sampai ia menghembuskan nafas terakhir. Ayah adalah seorang pejuang hebat, menjadi pilihan terbaik yang diberikan Allah S.W.T kepada Abu.
Dalam hidup adakala Abu merasa lemah dan kalah, ada saat dimana kekuatan hati manusia tak terlalu tangguh menghadapi dunia. Abu berusaha memejamkan mata, mengingat masa lalu, masa-masa ketika Abu memeluk erat-erat ayah dari belakang ketika diantar kesekolah dengan vespa biru butut itu. Mencoba meresapi kebijaksanaan yang belum utuh menyeluruh Abu serap.
Nomor 48 mungkin tidak berarti apa-apa bagi sebahagiaan besar orang. Tapi angka tersebut adalah sebuah pengingat, sebuah warisan semangat. Salah satu harta yang berharga yang diwariskan ayah. Entah anakmu akan tangguh seperti engkau, namun jika Abu terus berusaha berjuang untuk melawan godaan itu, itu semua karenamu ayah tercinta.
Pingback: ANGIN DINGIN MENEPATI JANJI | Tengkuputeh
Pingback: SEGALA SESUATU MEMILIKI ASAL MULA | Tengkuputeh