BOM BUNUH DIRI UNTUK KEMENANGAN SIAPA

Para pelaku bom bunuh diri beranggapan bahwa mereka adalah paling suci dan orang lain najis, dengan dalil-dalil agama bergeming, kukuh, dan abadi.

BOM BUNUH DIRI UNTUK KEMENANGAN SIAPA

Seorang gadis tidak menyangka bahwa ia akan mempengaruhi sejarah dunia. Ia bernama Dhanu, dia yang mati pada tanggal 21 Mei 1991. Hari itu ia datang ke rapat umum menyambut Rajiv Gandhi, ketua Partai Kongres India waktu itu. Beberapa menit sebelum rapat dimulai, Dhanu berjalan mendekat ke arah Gandhi, dan mempersembahkan karangan bunga. Tapi saat itu juga ia menekan tombol yang memicu sabuk bahan peledak di tubuhnya. Ledakan terdengar. Terbunuhlah Gandhi, Dhanu sendiri dan beberapa orang di sekitar itu termasuk salah satu anggota komplotan yang bertugas membuat dokumen video kejadian itu. Mereka Tamil Eelam, gerilyawan pemberontak di Sri Langka.

Sejak hari itu sampai sekarang, metode Dhanu dipakai. Satu atau beberapa orang menyediakan diri untuk menjadi semacam senjata, semacam rudal yang menghancurkan diri sendiri bersama sasaran dalam sebuah lingkungan yang tak disangka-sangka. Tentu saja setelah Dhanu, ada perubahan. Di Palestina, didorong semangat yang bertaut dengan pahitnya kehilangan hak dan kedaulatan atau sebuah cita-cita kemerdekaan melawan Israel yang kokoh menjajah. Kini, saperti tampak sejak “11 September 2011”, “Bom Bali” sampai “Bom Terminal Kampung Melayu” yang terdengar adalah pekik “jihad” : sesuatu yang terkait dengan iman, asas-asas yang kukuh tentang kebaikan dan kemungkaran.

Azahari dan Noor Din Top, bukan orang asing, jika “asing” dan “ganjil” dan “tak dikenali”. Tapi mereka bukan orang sini. Mereka masuk diam-diam dari Malaysia ke Indonesia, merekrut orang-orang lokal buat meledakkan bom, membunuh orang yang tak bersalah, dan sejak itu Indonesia terjerembap. Sejak itu negeri ini, negeri yang dinyanyikan oleh anak-anak sekolah sebagai “aman dan sentausa”, jadi tidak aman dan tak sentosa bagi siapa saja.

Para pelaku bom bunuh diri beranggapan bahwa mereka adalah paling suci dan orang lain najis, dengan dalil-dalil agama bergeming, kukuh, dan abadi. Para ideolog tanpa pertanyaan. Mereka tak akan mengakui bahwa dalam sejarah dalil itu selalu berubah dan berbeda, melalui tafsir karena tak selamanya bagi mereka ada keharusan menjawab sebuah keadaan tertentu.

Menurut sebagian besar ulama di Indonesia bom bunuh diri adalah sesat, apapun motifnya bunuh diri bertentangan dengan Islam. Tapi mereka malah beranggapan para ulama yang bersuara semacam itulah yang sesat. Dalil pada akhirnya adalah tafsir, yang kekal pada akhirnya disalin menjadi yang fana, yang mutlak diterjemahkan menjadi yang nisbi.

Dunia terlihat sebagai sebuah realitas yang keras kepala, lebih dari dalil apapun. Tindakan orang yang menempuh kematian itu memperlihatkan secara nyata laku “supramanusia”, yang dasyat, menggetarkan, mengerikan, dan sekaligus mengagumkan, yang mengatasi kematian.

Yang lebih menarik lagi dalam laku yang luar biasa itu, yang berlangsung sebenarnya adalah sebuah pementasan. Yang dasyat, yang menggetarkan, mengerikan, dan mengagumkan itu adalah sebuah bagian dari sebuah panggung kepahlawanan.

Tapi Indonesia tak butuh panggung kepahlawanan seperti itu.

Potongan tubuh korban bom bunuh diri di Halte Busway Kampung Melayu, Jakarta Timur berserakan di parkiran sepeda motor, Rabu (24/5/2017). Dua orang tewas dalam peristiwa ini. Sumber : https://metro.sindonews.com

Negeri ini Indonesia, tanah air kita, lahir melalui revolusi. Suatu hal yang tidak dialami oleh orang Malaysia seperti Azahari. Revolusi yang melibatkan rakyat banyak yang menderita di bawah penjajahan. Revolusi itu sebuah peristiwa solidaritas, dengan pengorbanan dan rasa bangga. Tapi, bila Indonesia tidak sempurna, tak kekal dan tak terlalu dipuja mungkin karena Indonesia adalah sebuah proyek terbatas, karena menyadari keterbatasan manusia. Sebagaimana Indonesia didirikan pada tahun 1945 adalah tanah air dengan banyak harap dan cemas, dengan gairah sekaligus gentar. “Indonesia” selamanya berdebar-debar dalam sejarah, ia tak menafikan dan takut akan keterbatasan. Ia telah berjalan-jalan dan terbentur-bentur untuk kemudian bangkit dalam pengalaman. Kita semua tahu “Islam” adalah bendera yang berkibar di Indonesia, dengan hasrat persaudaraan dan rasa rindu pada keadilan Allah S.W.T. Bendera itu putih, tetapi putih dengan warna-warni.

Itulah yang tidak dipahami oleh para pelaku bom bunuh diri. Mereka meledakkan bom, berkali-kali, tapi tak akan membuat dunia menjadi arena bagi yang absolut. Mereka melancarkan gerilya secara total, tapi pada akhirnya mereka akan gagal.

Mungkin para pembom bunuh diri tahu mereka akan gagal. Mereka siap mati dengan harapan akan surga bagi diri mereka sendiri, serta membenamkan korban mereka ke neraka jahanam. Dan bukan dengan harapan untuk memenangkan orang-orang yang mereka bela di dunia ini. Maka untuk itu, terkutuklah mereka!!!

About tengkuputeh

Cepat seperti angin // Tekun seperti hujan // Bergairah seperti api // Diam seperti gunung // Misterius seperti laut // Kejam seperti badai // Anggun seperti ngarai // Hening seperti hutan // Dalam seperti lembah // Lembut seperti awan // Tangguh seperti karang // Sederhana seperti debu // Menyelimuti seperti udara // Hangat seperti matahari // Luas seperti angkasa // Berserakan seperti debu //
This entry was posted in Cuplikan Sejarah, Kisah-Kisah, Kolom, Mari Berpikir, Opini, Pengembangan diri, Reportase and tagged , , , , , , , , , , , , , , , , . Bookmark the permalink.